Malam yang gelap menyelimuti bangunan asrama itu. Bangunan yang berdiri sekitar delapan tahun yang lalu. Karena faktor umur, bangunan asrama itu memiliki beberapa lampu-lampu yang hanya menempel pada langit-langit namun sebagian tak berfungsi lagi. Di lobi asrama terdapat kantin untuk memenuhi kebutuhan perut yang lapar. Lorong-lorong yang panjang memiliki sepuluh kamar di kiri dan kanannya. Jika dari lobi itu mengambil jalur kanan, disitulah area lorong dua. Setelah lorong dua habis berbelok 90 derajat ke kiri terdapat lorong tiga. Di lorong tiga itu terdapat tangga menuju lantai dua. Tangga terpilin tunggal seperti RNA. Setelah menginjak anak tangga terakhir, disitulah terdapat lorong delapan. Lorong yang menyambungkan kamar 190 sampai kamar 199. Karena tangga itu terdapat di sudut maka yang akan pertama dilalui adalah kamar mandi, Gelap. Bentuk bangunan balok dan terdapat lapangan di tengah itu bisa diibaratkan gelanggang sepak bola yang dialih fungsikan menjadi penginapan.
“Braaaak”
“Anjing loe,“
Suara itu memecah kesunyian lorong delapan. Secara serempak para penghuni bertanya-tanya hal yang jarang terjadi itu.
Ketua lorong atau yang akrab dipanggil RT keheranan dan berdiri di depan kamarnya sambil diikuti oleh teman-teman sekamarnya. Tanpa diundang teman dari kamar yang lainnya pun mengikuti keheranannya.
“Ada apa ini !” suaranya lembutnya tapi penuh kekhawatiran.
“Dari kamar mana suara itu Nif?” tanyanya pada temennya yang berdiri disebelahnya.
“Gak tau Sal,”
“Dari kamar ujung kayaknya,” celetus temannya satu lagi, Yanuar.
Beberapa kamar dilalui hingga akhirnya langkah mereka berhenti di kamar paling ujung, kamar 199. Pintunya terbuka sehingga suara itu begitu jelas terdengar.
“Astagfirullahal’adzim,” teriak RT karena kaget.
“Apa-apaan kalian ini,”
Dua orang sekamar itu sedang bertarung bagai petinju di atas ring. Sumpah serapah itu keluar sebagai pelampiasan kekesalan mereka. Setelah RT berusaha melerai, Mereka terdiam sejenak. Sepi.
“Saya minta pindah kamar,” suara yang keluar dari Erdi, peserta pertarungan itu.
“kenapa ? apa masalahnya?” tanya RT penasaran.
“Saya muak sekamar dengan dia,” celetus peserta pertarungan satu lagi.
“Sekarang tinggal kalian pilih, mau menghadap SR atau kita selesaikan masalah ini secara pribadi dan anggap sebagai masalah lorong kita,” tak ada yang komentar.
“Baiklah kalau tidak ada yang bicara, biarkan saya yang bicara pada SR untuk menyelesaikannya,”
“Jangan,” secara kompak suara itu tertuju pada sang ketua lorong.
“Sekarang kalian,” sambil menunjuk pada para peserta” Ikut bersama saya” lanjutnya.
Pembicaraan formal itu hanya dilakukan oleh RT dan kedua peserta di kamar RT. Sedangkan teman-teman yang lain menunggu di luar bagai wartawan kehausan berita. Tidak ada tanda-tanda pertarungan lagi di kamar itu. Baik fisik maupun kata-kata. Rupanya sang ketua begitu pengalaman dalam hal mendamaikan dua jiwa yang berbeda. Beberapa menit berlalu. Keluarlah mereka dengan wajah tak menyimpan dendam. Mereka kembali akrab dan kami merasa lega akan hal itu. Semua orang bubar menuju kamarnya masing-masing walaupun sempat menjadi topik pembicaraan orang-orang penghuni lorong itu.
“Semoga kejadian seperti ini tidak pernah terulang lagi,” suara hampir setiap orang yang merasa kaget dengan kejadian asing itu.
[cerita ini hanya fiktif belaka. jika ada kesamaan tokoh atau alur cerita, itu hanya suatu kebetulan saja]
( DOWNLOAD )
( DOWNLOAD )
0 komentar:
Posting Komentar