Photobucket
AHLAN WASAHLAN BIKHUDURIKUM
ASSALAMU'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUHU

Menu horizontal

Kamis, 12 Januari 2012

Jujur Aku Mencintainya Part 1


Bogor, sebuah tempat dimana dirinya merasa nyaman dan tentram. Entah ada apa dengan dia sebenarnya. Dia  merasa tak pernah punya tempat pulang. Mengakuinya pun serasa enggan. Disaat orang sibuk mencari tiket pesawat untuk pulang, dia hanya berkata, “Aku tak mau pulang”. Mungkin karena peristiwa itu. Peristiwa yang takkan pernah terlupakan sepanjang hidupnya. Sesosok orang tua yang seharusnya menjadi teladannya, justru malah menjadi sosok yang sangat dibencinya. Peristiwa pahit ini dirasakannya semenjak dia duduk di bangku kelas tiga SMA. Saat-saat yang perlu dukungan orang tua sepenuhnya. Memikirkan kelulusan Ujian Nasional yang semakin ribet, belum lagi memilih perguruan tinggi yang akan menjadi batu loncatan dalam mewujudkan cita-citanya. Dia anak yang cerdas sebenarnya. Tak sedikitpun bermasalah dalam hal akademik. Namun dibalik itu semua, hatinya panas, merana, dan akhirnya pasrah jika dirinya sedang penuh dengan Tuhannya.

Teringat saat-saat dia harus berjuang untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dirinya merasa berjuang sendiri meski sebenarnya selalu ada pihak sekolah yang menyokongnya. “mana orang tuamu ?” kata seorang guru BP kepadanya. Dengan berat dia berkata, “ Aku tak merasa punya orang tua Bu,” dengan kepedihan yang mendalam. Ibu Guru dengan penuh kerendahan hati meminta dia menjelaskan apa maksud perkataannya. Semakin lama bercerita, di hati kecilnya sebenarnya  ada deburan-deburan cinta yang teramat dalam kepada orang tuanya. Semua itu dapat terlihat dari raut mukanya yang tak bisa berbohong. Sebagai laki-laki, dia sedikitpun tak mau memerlihatkan kelemahannya dihadapan semua orang. Waktu itu, dia sekolah ditempat yang jauh dari orang tuanya. Orang tuanya tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan sedangakan dia sudah merantau ke Jakarta sejak memasuki dunia putih abu-abu. Paman satu-satunya adalah tempat yang bisa menjadi penopang hidupnya. Meskipun sebenarnya dia tak mau merepotkannya.
            “Jhon”
Panggilan akrab temannya itu membuyarkan pikiran sensitif-nya. Nama lengkapnya Jhona Vebryano. Dia seorang Khatolik yang taat. Dia tak begitu tau arti dari liburan Idul Fitri yang merasa lebih panjang daripada liburan-liburan hari raya agamanya. Tapi yang jelas sekarang dirinya bisa menikmati liburan meski terasa pedih.
            “Lu ga jadi pulang Jhon ?” lanjut teman sekamarnya.
            “Iya, Red,” singkatnya.
            “Kenapa, gak kangen Lo sama orang tua ?”
Kata-kata temannya Redy membuat hatinya semakin sakit. Dia coba untuk menjawab dengan tenang. Namun susah ternyata.
            “Gue gak punya duit buat pulang Red,” lanjutnya.
            “Yee, gara-gara duit Lo rela gak pulang, ni Gue pinjemin, mau gak ?”
            “Gak usah Red, makasih banyak”
            “terus disini mau ngapain, asrama sepi kayak gini, mau Lo jadi tumbal setan   penghuni asrama,” sambil menebar senyuman tengilnya.
Redy berasal dari Banten, perawakannya gemuk, sedikit pendek, dan bulat sehingga tak sedikit orang memanggilnya Doraemon.
            “Ya, mau menikmati indahnya Bogor aja”
            “Yaudah deh Gue cabut duluan ya, mohon maaf lahir bathin,” ucapnya sambil beranjak pergi.
            “Ya, sama-sama”
Tanpa dihitung dalam menit, Redy sudah menghilang dari pandangan. Mungkin pikirnya asrama begitu nyaman bagi dirinya. Dia tinggal di gedung asrama C2 kamar 192. Asrama yang disediakan Institut Pertanian Bogor untuknya. Dia menyadari begitu baik institusi ini padanya.
            Tanggal 24 Agustus 2011, hari yang ditunggu-tunggu bagi hampir semua mahasiswa IPB tentunya. Perkuliahan ditutup, kantor-kantor berhenti beraktivitas, dan para pekerja kampus pun bisa istirahat untuk beberapa hari kedepan tentunya. Hari demi hari dia lewati hanya dengan kehampaan. Bayangan wajah orang tuanya seakan menjadi hantu dalam kesehariannya. Doa yang selalu dibacakan setiap pagi dan malam seperti tak cukup mengobati hatinya. Dalam suatu hari, kerinduannya memuncak. Berulang kali tangannya disatukan dan mengepal erat. Berharap Tuhan menyampaikan rasa rindunya pada mereka. “Satu hal yang Ayah dan Ibu harus tahu, sebenarnya Aku sangat ingin mencintaimu,” sambil diiringi deraian air mata yang membasahi pipinya.

TO BE CONTINUED 

Cari Blog Ini