Bogor, sebuah tempat dimana dirinya merasa nyaman dan tentram. Entah
ada apa dengan dia sebenarnya. Dia merasa tak pernah punya tempat
pulang. Mengakuinya pun serasa enggan. Disaat orang sibuk mencari tiket
pesawat untuk pulang, dia hanya berkata, “Aku tak mau pulang”. Mungkin
karena peristiwa itu. Peristiwa yang takkan pernah terlupakan sepanjang
hidupnya. Sesosok orang tua yang seharusnya menjadi teladannya, justru
malah menjadi sosok yang sangat dibencinya. Peristiwa pahit ini
dirasakannya semenjak dia duduk di bangku kelas tiga SMA. Saat-saat yang
perlu dukungan orang tua sepenuhnya. Memikirkan kelulusan Ujian
Nasional yang semakin ribet, belum lagi memilih perguruan tinggi yang
akan menjadi batu loncatan dalam mewujudkan cita-citanya. Dia anak yang
cerdas sebenarnya. Tak sedikitpun bermasalah dalam hal akademik. Namun
dibalik itu semua, hatinya panas, merana, dan akhirnya pasrah jika
dirinya sedang penuh dengan Tuhannya.
Teringat saat-saat
dia harus berjuang untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dirinya
merasa berjuang sendiri meski sebenarnya selalu ada pihak sekolah yang
menyokongnya. “mana orang tuamu ?” kata seorang guru BP kepadanya.
Dengan berat dia berkata, “ Aku tak merasa punya orang tua Bu,” dengan
kepedihan yang mendalam. Ibu Guru dengan penuh kerendahan hati meminta
dia menjelaskan apa maksud perkataannya. Semakin lama bercerita, di hati
kecilnya sebenarnya ada deburan-deburan cinta yang teramat dalam
kepada orang tuanya. Semua itu dapat terlihat dari raut mukanya yang tak
bisa berbohong. Sebagai laki-laki, dia sedikitpun tak mau memerlihatkan
kelemahannya dihadapan semua orang. Waktu itu, dia sekolah ditempat
yang jauh dari orang tuanya. Orang tuanya tinggal di Makassar, Sulawesi
Selatan sedangakan dia sudah merantau ke Jakarta sejak memasuki dunia
putih abu-abu. Paman satu-satunya adalah tempat yang bisa menjadi
penopang hidupnya. Meskipun sebenarnya dia tak mau merepotkannya.
“Jhon”
Panggilan
akrab temannya itu membuyarkan pikiran sensitif-nya. Nama lengkapnya
Jhona Vebryano. Dia seorang Khatolik yang taat. Dia tak begitu tau arti
dari liburan Idul Fitri yang merasa lebih panjang daripada
liburan-liburan hari raya agamanya. Tapi yang jelas sekarang dirinya
bisa menikmati liburan meski terasa pedih.
“Lu ga jadi pulang Jhon ?” lanjut teman sekamarnya.
“Iya, Red,” singkatnya.
“Kenapa, gak kangen Lo sama orang tua ?”
Kata-kata temannya Redy membuat hatinya semakin sakit. Dia coba untuk menjawab dengan tenang. Namun susah ternyata.
“Gue gak punya duit buat pulang Red,” lanjutnya.
“Yee, gara-gara duit Lo rela gak pulang, ni Gue pinjemin, mau gak ?”
“Gak usah Red, makasih banyak”
“terus disini mau ngapain, asrama sepi kayak gini, mau Lo jadi tumbal
setan penghuni asrama,” sambil menebar senyuman tengilnya.
Redy berasal dari Banten, perawakannya gemuk, sedikit pendek, dan bulat sehingga tak sedikit orang memanggilnya Doraemon.
“Ya, mau menikmati indahnya Bogor aja”
“Yaudah deh Gue cabut duluan ya, mohon maaf lahir bathin,” ucapnya sambil beranjak pergi.
“Ya, sama-sama”
Tanpa
dihitung dalam menit, Redy sudah menghilang dari pandangan. Mungkin
pikirnya asrama begitu nyaman bagi dirinya. Dia tinggal di gedung asrama
C2 kamar 192. Asrama yang disediakan Institut Pertanian Bogor untuknya.
Dia menyadari begitu baik institusi ini padanya.
Tanggal 24 Agustus 2011, hari yang ditunggu-tunggu bagi hampir semua
mahasiswa IPB tentunya. Perkuliahan ditutup, kantor-kantor berhenti
beraktivitas, dan para pekerja kampus pun bisa istirahat untuk beberapa
hari kedepan tentunya. Hari demi hari dia lewati hanya dengan kehampaan.
Bayangan wajah orang tuanya seakan menjadi hantu dalam kesehariannya.
Doa yang selalu dibacakan setiap pagi dan malam seperti tak cukup
mengobati hatinya. Dalam suatu hari, kerinduannya memuncak. Berulang
kali tangannya disatukan dan mengepal erat. Berharap Tuhan menyampaikan
rasa rindunya pada mereka. “Satu hal yang Ayah dan Ibu harus tahu,
sebenarnya Aku sangat ingin mencintaimu,” sambil diiringi deraian air
mata yang membasahi pipinya.
TO BE CONTINUED
0 komentar:
Posting Komentar